Cara Islam Mengatasi Kriminalitas Remaja

Cara Islam Mengatasi Kriminalitas Remaja

Kekerasan dan pergaulan bebas menjadi potret buram kehidupan remaja saat ini. tawuran antarpelajar, seks bebas, hamil di luar nikah, aborsi, perkosaan, pelecehan seksual dan peredaran VCD porno, narkoba dan HIV/AIDS menjadi perkara yang lumrah di kalangan remaja saat ini. Padahal remaja merupakan generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet kebangkitan umat.
Kapiltalisme: Biang Kerok
Sederet potret buram remaja menjadi bukti kegagalan sistem Kapitalisme yang diterapkan, di antaranya melalui sistem pendidikan generasi saat ini. Sistem pendidikan sekular kapitalis telah menyita sebagian besar waktu dan tenaga siswa untuk mengabaikan aspek pembentukan kepribadian yang kuat. Sekolah sebagai institusi pendidikan alih-alih mencetak remaja yang berkualitas yang memiliki kepribadian yang kuat sesuai dengan tujuan pendidikan, namun justru menghasilkan remaja yang menciptakan banyak masalah. Sekolah yang baik seharusnya mampu membentuk kepribadian yang baik.  Sebaliknya, sekolah yang buruk adalah yang abai terhadap hal-hal tersebut. Inilah realita yang terjadi kini.
Sebenarnya Pemerintah telah menetapkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal. Tentu, ini adalah sebuah tujuan yang sangat ideal, dan memang itulah yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan. Pendidikan harus melahirkan sosok manusia yang mempunyai kepribadian khas yang muncul dari keimanan dan ketawaan yang tinggi serta memiliki kemampuan berbasis kompetensi yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan diarahkan untuk menempa kepribadian siswa yang kuat dan mengembangkan potensi keterampilan secara optimal.
Hanya saja, apabila kita menengok realita kehidupan para pelajar saat ini, tujuan ini terasa sangat klise.  Kalangan remaja sebagai output pendidikan saat ini jauh dari sosok manusiamuttaqin dalam makna hakikinya. Kini, alih-alih ada rasa bangga bila bertemu dengan gerombolan remaja berseragam sekolah, yang ada adalah rasa was-was, khawatir menjadi korban tingkah polahnya yang buruk, bak preman jalanan.
Dengan kurikulum sekular kapitalistik, para pelajar kian terbentuk menjadi pribadi yang kering jiwanya, keras mentalnya, bahkan jumud dari mencari solusi berbagai persoalan yang menimpanya. Kata iman dan takwa tidak lebih dari lips service.  Kata ‘iman’ dan ‘takwa’ tidak mewujud dalam kenyataan.  Padahal sejatinya, apabila strategi pendidikan seiring dengan tujuannya, maka akan dihasilkan target optimal, yaitu terbentuknya sosok generasi ideal.  Namun, fakta menunjukkan bahwa ada perbedaan antara konsep dan metode pelaksanaannya.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, nilai-nilai demokrasi dan HAM menjadi acuan dalam proses pendidikan  sehingga proses pembelajaran mengacu pada target tercapainya nilai-nilai tersebut.  Inilah fakta yang menunjukkan ada ketidaksesuaian antara visi dan misi pendidikan.  Visinya menjadi insan mu’min dan muttaqin, namun misinya melalui penanaman nilai HAM dan demokratisasi. Akankah misi ini dapat mewujudkan visi pendidikan?  Ataukah memang visi pendidikan nasional sudah mengalami disorientasi?  Bila benar, tentu tidak salah jika kita mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional yang dicanangkan tersebut hanyalah lips service saja.
Bila memang yang diinginkan adalah terbentuknya insan yang mu’min-muttaqin, relevankah bila ditempuh dengan cara memberikan pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran saja dalam satu minggu (2 jam dari 40 jam, hanya 5% dari pelajaran lainnya). Itu pun jika harinya tidak libur dan gurunya tidak bolos. Lebih dari itu penyampaian pelajaran lebih bersifat teoretis, kurang sisi implementatif, ditambah sarana praktik pendidikan agama yang sangat minim. Karena itu, wajar jika kemudian para pelajar memposisikan pelajaran agama tidaklah berbeda dengan pelajaran lainnya, yang hanya untuk dihapal karena akan keluar di soal ujian.
Belum lagi berbicara tentang kualitas guru. Sistem Kapitalisme, selain membebani guru dengan setumpuk bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa, mereka juga dipusingkan dengan beban hidup yang kian menghimpit, seiring dengan penghargaan Pemerintah yang jauh dari nilai layak bagi insan pendidik ini. Walhasil, proses belajar mengajar hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban saja, tidak lebih dari itu. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan metode ajar yang hanya mengedepankan transformasi ilmu saja dan mengabaikan transformasi perilaku positif yang menjadi suri teladan.  Lihat saja banyak berita tentang bagaimana perilaku guru yang tidak memberikan contoh perilaku yang baik. Kasus guru yang berbuat kasar dengan membentak, menempeleng, atau menendang terhadap muridnya adalah contoh betapa wajar jika para siswa berulah anarkis, karena gurunya pun mengajarkan perilaku seperti itu.
Tidak dipungkiri pula bahwa dalam kurikulum pendidikan yang sekular kapitalistik ini, untuk membentuk sosok pelajar yang mu’min-muttaqin hanya bertumpu pada materi agama. Adapun pada pelajaran lain, tidak ada penanaman nilai kepribadian untuk menjadi mu’min-muttaqin.  Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan nasional kita tidak berbasis agama.  Agama ditempatkan jauh dari urusan pendidikan.  Pendidikan di negeri ini menganut paham pemisahan agama dari pengaturan urusan masyarakat (sekular).   Akibatnya, terjadi dikotomi antara pelajaran agama dan pelajaran umum lainnya.  Pelajaran umum (non agama) berada di wilayah yang ‘bebas nilai’, yang sama sekali tidak tersentuh standar nilai agama.  Kalau pun ada hanyalah etik-moral yang tidak bersandar pada nilai agama.  Karena itu, wajar bila pembentukan kepribadian hanya dibebankan pada pelajaran agama saja.
Lemahnya Peran Keluarga
Kehidupan kapitalistik yang berlaku saat ini tidak hanya menjadi pangkal persoalan pendidikan di sekolah. Keluarga pun terkena imbasnya. Keluarga adalah basis pendidikan yang utama bagi setiap insan. Namun, sistem Kapitalisme telah memaksa para orangtua abai dalam proses pendidikan anak-anaknya. Kapitalisme telah menyebabkan beban hidup setiap keluarga terus mencekik. Keluarga pun harus memutar otak mencari penghidupan. Dengan  dalih mencapai penghidupan yang layak inilah, ayah dan ibu sibuk bekerja siang dan malam. Akibatnya, anak pun terabaikan.
Para ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya tidak  sempat memberikan perhatian dan kasih sayang yang paripurna. Bahkan untuk memberikan keteladanan sehari-hari kepada anaknya pun tak ada waktu karena sibuk di luar rumah, turut membantu suami mengepulkan asap dapur. Akhirnya, para ibu banyak yang tidak lagi bisa memberikan arahan akan kehidupan yang harus dicapai anak-anaknya. Begitupun dengan sosok ayah. Ia menjadi figur yang asing bagi anak-anaknya.  Tanggung jawabnya untuk menjaga keluarga dari siksa api neraka sebagaimana perintah dari Allah SWT, jelas terabaikan. Sempitnya waktu bersama anak membuat komunikasi menjadi hal yang sangat mahal dalam keluarga. Anak pun terdidik dengan televisi, internet, HP dan  media eletronik lainya. Padahal dari media-media tersebutlah anak mendapatkan pengaruh buruk tentang pergaulan bebas, hidup konsumtif, kekerasan dan aktivitas kriminal lainnya. Anak tidak mengenal kasih sayang sejati dalam rumahnya. Perhatian justru didapat dari teman, geng, bahkan komunitas lain di jalanan.
Solusi Tuntas
Potret buram remaja sebenarnya dapat dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi pemahaman dan perilaku remaja.  Untuk itu dibutuhkan peran dari berbagai unsur: sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Keseluruhannya bertanggung jawab dalam membentuk kepribadian yang baik pada remaja, kepribadian yang dibangun di atas iman dan takwa.  Semuanya harus bersinergis untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja.
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Di sanalah pertama kali dasar-dasar keislaman ditanamkan. Anak dibimbing orangtuanya bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT.
Rasulullah saw. pernah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-islami). Ayah dan ibunyalah kelak yang menjadikan dirinya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala) (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Orangtua wajib mendidik anak-anaknya tentang perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana anak diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan-santun, kasih-sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Dengan begitu, kelak terbentuk pribadi anak yang shalih dan terikat dengan aturan Islam.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah para  malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah atas apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS at-Tahrim [66]: 6).
Masyarakat—yang menjadi lingkungan remaja menjalani aktivitas sosialnya—mempunyai peran yang besar juga dalam mempengaruhi baik-buruknya proses pendidikan, karena remaja merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama, serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing-masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi muda, maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Perkara yang akan membentuk pengaruh negatif pada remaja tentu akan dicegah bersama. Jika ada sekelompok remaja terbiasa nongkrong dengan kegiatan yang tidak karuan, masyarakat setempat seharusnya bertindak membersihkan lingkungan dengan mengajak kelompok remaja tersebut mengalihkan kegiatan dengan hal yang lebih bermanfaat. Di sinilah peran penting masyarakat sebagai kontrol sosial.
Peran paling penting dan strategis dalam membentuk kepribadian remaja ada pada negara melalui pemberlakuan sistem pendidikan. Secara paradigmatik, pendidikan  harus dikembalikan pada asas akidah Islam yang akan menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar-mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus tempat remaja eksis di dalamnya.
Paradigma pendidikan yang berasas  akidah Islam harus berlangsung secara berkesinam-bungan mulai dari  TK hingga Perguruan Tinggi yang pada ujungnya nanti diharapkan mampu menghasilkan keluaran (output) peserta didik yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah islamiyyah), menguasai  tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan  (iptek  dan keahlian).
Negara sebagai penyelenggara pendidikan yang utama haruslah menerapkan kurikulum yang menjamin tercapainya generasi berkualitas. Bukan hanya generasi yang mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga membentuk kepribadian Islamnya. Negara juga wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan secara layak. Atas dasar inilah negara wajib memiliki visi pendidikan yang fokus pada pembentukan generasi berkualitas dan menyediakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan. Dengan itu pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri.
Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka ini haruslah yang memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara-cara yang harus dilakukan. Mereka harus menjadi teladan bagi anak didiknya. Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi. Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya, tetapi juga seorang pendidik dan pembina generasi. Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi mereka.
Lebih dari itu, negara juga wajib mengontrol dan menindak tegas hal-hal yang bisa merusak generasi, terutama media yang memberi pengaruh buruk dalam pendidikan dan pembinaan anak.
Peran negara yang seperti ini tentu tidak akan terwujud dalam tatanan sistem yang kapitalis. Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah-lah yang mampu melaksanakan peran strategis ini. Oleh karena itu, berharap menghapus potret buram remaja dalam tatanan sistem kapitalis saat ini hanyalah mimpi di siang bolong. Karena itu, sudah saatnya mencetak potret cemerlang remaja dan generasi ini dengan tatanan terbaik dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Hanya tatanan Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah-lah yang mampu menghapus potret buram remaja dan generasi ini menjadi potret cemerlang dan gemilang.
WalLahu a’lam bi ash-shawab.

Sistem Administrasi Pro Rakyat

Sistem Administrasi Pro Rakyat


Dr. Fahmi Amhar
Akhir-akhir ini kasus pungli di KUA marak diberitakan.  Di Indonesia ini banyak kasus nikah yang tidak didaftarkan resmi (nikah siri).  Sebagian nikah siri ini memiliki alasan rumitnya berpoligami di Indonesia (mesti ada izin istri-1, ada izin atasan bagi PNS, menghadapi pandangan miring masyarakat, dsb.), sedang sebagian lagi beralasan mahalnya biaya (pungli) di KUA.  Memang biaya pencatatan nikah resmi cuma Rp. 30.000.  Tetapi kalau petugas KUA diminta datang ke rumah, apalagi di luar jam kerja atau di hari libur di musim banyak orang nikah, maka selain perlu biaya transportasi dan lembur, juga terjadi hukum ekonomi: jasa yang banyak dicari, padahal suplainya terbatas, akan menjadi lebih mahal.
Padahal, tanpa surat nikah, maka anak yang akan dilahirkan akan kesulitan akta kelahiran atau di akta kelahiran tidak bisa ditulis nama ayahnya.  Tanpa akta kelahiran, nanti anak akan kesulitan masuk sekolah. Tanpa akta kelahiran juga nanti akan sulit mengurus KTP atau paspor.  Tanpa paspor, maka orang tidak bisa naik haji, sekalipun dapat warisan milyaran rupiah.
Sistem administrasi negeri ini memang semrawut.  Sebenarnya aturannya jelas tetapi masih banyak celah yang multitafsir atau belum dibarengi sistem mekanis yang memaksa untuk mengikuti sistem tetapi sekaligus juga adil.  Beberapa waktu yang lalu, seorang anak kelas IV SD dipaksa kembali ke kelas 1 karena rapornya hilang.  Padahal mestinya di sekolah ada buku induk yang bisa dipakai untuk membuatkan rapor duplikat.
Ada lagi seorang pembuat paspor dengan nama dua kata (misalnya Muhammad Ali), ketika petugas imigrasi tahu dia bikin paspor untuk pergi umrah, dipaksa menambah namanya jadi 3 kata (misalnya jadi Muhammad Ali Usman).  Ternyata belakangan penambahan nama ini jadi problem saat dia check-in di bandara, karena tiketnya dipesan dengan dua nama saja.
Mungkin karena di negeri ini sistem administrasi baru ada setelah era kemerdekaan.  Di zaman penjajahan, Belanda sudah memperkenalkan sistem administrasi, tetapi masih sporadis, hanya di kota-kota, dan cenderung diskriminatif.  Padahal berabad-abad sebelumnya, Daulah Khilafah sudah melakukannya secara cermat dan efisien.
Umar bin Khattab sudah memerintahkan pencatatan warga negara khilafah secara lengkap, bahkan meliputi data kapan mereka masuk Islam, sudah berapa kali ikut berjihad dan sebagainya.  Walhasil, pungutan dan pembagian zakat di masa khilafah sesudahnya sudah berjalan tepat sasaran (efektif).
Masih ingat Mariam Ammash? Dia terdata dalam dokumen kelahiran keluaran otoritas Utsmaniyah tahun 1888, yang kemudian dijadikan dasar otoritas Israel untuk membuatkan kartu identitas bagi Mariam.  Nenek yang wafat tahun 2012 ini tercatat sebagai warga bumi tertua.

Yang dipegang Mariam bukanlah paspor Utsmaniyah, tetapi KTP Israel (perhatikan huruf Ibrani dan cap Menorah). Tetapi di situ tertulis tahun kelahiran 1888, zaman wilayah itu dalam kekuasaan Utsmaniyah
Bagi mayoritas orang, dokumen dengan bentuk fisik dan visual memang dianggap lebih otentik dan dapat berbicara lebih banyak dibandingkan dengan klaim atau pengakuan. Itulah mungkin yang sempat menjadikan isu (hoax) “KTP Utsmani” di balik foto Mariam santer beredar  di dunia maya.  Walaupun demikian dokumen-dokumen resmi Khilafah Utsmaniyah sebenarnya banyak tersimpan dan dipamerkan di museum maupun perpustakaan di Turki, Suriah, Mesir dan sebagainya.


Ini merupakan salah satu dokumen identifikasi penduduk yang diadopsi otoritas Utsmaniyah sejak 1863. Berisi data pemegang, orang tua, alamat, dan deskripsi fisik (www.sephardicstudies.org).
Paspor ini diberikan konsul Utsmaniyah di Singapura pada 1902 dan Batavia pada 1911 untuk Abdul Rahman bin Abdul Majid. Dia pedagang Utsmaniyah yang lahir di Konstantinopel, kemudian pernah menjadi penduduk di Mekah dan Batavia (www.ottomansoutheastasia.org)


Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa negara Khilafah waktu itu memang “mendahului zaman”.  Bahwa negara itu akhirnya runtuh, itu hanya menunjukkan bahwa administrasi memang hanya sistem pendukung (supporting system) dalam sebuah negara, yang berada di bawah sistem politik, hukum dan ekonomi.  Namun dengan sistem administrasi yang baik, maka kebaikan yang ada dalam sebuah sistem politik akan lebih baik lagi, dan merupakan dakwah yang sempurna.

Mau Dapat Suami Shalih? Hindari Busana Seksi!!

By: Yulianna PS
Penulis Novel Perjuangan Meminang Bidadari
Berbusana seksi ditempat umum, telah menjadi bagian dari gaya hidup wanita zaman sekarang. Berbagai motif menjadi alasan wanita golongan penjaja aurat. Ada yang berkesimpulan bahwa berbusana seksi ditempat umum merupakan kebanggaan, ada yang beralasan mengikuti tren, ada juga yang beranggapan bahwa berbusana seksi merupakan cara ampuh untuk memikat calon pasangan.
Penulis merasa prihatin dengan stigma sesat seperti ini, bahwa busana seksi adalah jurus jitu untuk mendekatkan jodoh, atau memikat calon suami ideal. Sungguh dangkal wanita yang menilai tubuh seksi sebagai aset mahal untuk memikat laki-laki. Dari kebanyakan fakta yang ada, busana seksi hanya dapat memikat kaum Adam berhidung belang, atau minimal lelaki ‘Kurim’ atau kurang iman. Salah besar jika beranggapan jodoh ideal atau berakhlak baik akan datang jika wanita rajin pamer aurat di jalanan.
...Busana seksi hanya memikat pria kurang iman dan berhidung belang...
Contoh sederhana yang sering ditemui dalam kehidupan masyarakat dari perilaku busana seksi adalah pelecehan demi pelecehan yang harus rela ditanggung oleh wanita. Wanita dikatakan baik dan dapat dijadikan harapan menjadi istri shalihah dan ibu yang baik bagi seorang anak apabila ia mempunyai sifat malu. Jika malu sudah tidak lagi menjadi karakternya, dalam artian ia rajin pamer aurat, maka bisa dipastikan bahwa ia wanita yang dangkal pemahaman agamanya, dan sedikit sekali pengertiannya terhadap tanggung  jawab pada akhirat.
...ketakwaan dan pakaian syar’i memudahkan Muslimah mendapat pasangan shalih terbaik...
Sekali lagi, salah besar jika berpikir bahwa busana seksi adalah alat yang jitu untuk menarik calon suami yang baik. Jika ingin suami yang baik, wanita sangat urgen untuk memperbaiki kualitas dirinya, mempertebal keimanan, memperkuat kewajibannya sebagai muslimah, menjaga akhlak dan menjaga hijabnya, atau menutup auratnya. Jadikan ketakwaan dan pakaian syar’i untuk menambah matangnya kepribadian, dengan cara seperti ini, Allah akan memudahkanmu mendapat pasangan shalih terbaik menurut-Nya.
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…’’ (Qs An-Nur 26). [voa-islam.com]

Ketahanan Pangan Dalam Perspektif Syariah Islam

Ketahanan Pangan Dalam Perspektif Syariah Islam

Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tanpa topan. Ikan dan udang menghampiri. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Negeri ini pun lantas dilabel sebagai negara agraris. Digambarkan memiliki hamparan lahan pertanian bagai permadani yang amat luas. Memiliki laut dan samudera, serta garis pantai yang sangat panjang. Kondisi geografis anugerah Yang Maha Kuasa itu, memungkinkan hampir seluruh jenis komoditas pertanian dalam arti luas ada. Gemah ripah lohjinawi, katanya.
Tapi itu hanyalah tinggal “mitos”. Dongeng pengantar tidur anak-anak agar doktrin cinta negeri terhunjam ke dalam lubuk hatinya. Tetapi tatkala membuka mata, telinga, dan hati, mereka akan limbung menatap sekelilingnya. Apa yang didengarnya, tak sesuai dengan yang dilihatnya.
Mereka melihat beras negeri tetangga, Vietnam dan Thailand mengalir deras masuk pasar sampai pelosok negeri. Daging sapi Australia menghiasi sudut-sudut pasar. Gula juga demikian, bertebaran di meja-meja warung kopi. Bahkan tahu tempe yang katanya makanan rakyat ternyata berbahan impor.
KETAHANAN PANGAN MODEL KAPITALIS.
Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone –Jaminan, Kecukupan dan Supply Yang Terjangkau dari Makanan untuk Semua Orang-”. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “jaminan akses setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingärtner, 2000).  Berikut beberapa definisi yang  yang sering digunakan.
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 –cat: saat ini sedang diajukan RUU tentang Pangan dan masih dalam pembahasan di DPR- adalah: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
FIVIMS 2005 (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Sistems): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi : (1) Berorientasi pada rumah tangga dan individu; (2) Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses; (3) Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; (4) Berorientasi pada pemenuhan gizi; dan (5) Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.

Ketersediaan pangan
Ketersedian pangan menurut kapitalis adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersedian pangan dalam hal ini lebih serng dilihat secara makro.  Jika stok memadai dibandingkan tingkat kebutuhan secara makro maka ketersediaan pangan dianggap cukup.  Masalah distribusi dan bisa diakses oleh tiap individu atau tidak, itu tidak jadi perhatian.  Disamping itu dengan filosofi kebebasan ala kapitalis maka penyediaan pangan itu harus diberikan kepada swasta secara bebas.  Keserdiaan pangan yang ditempuh pada sistem kapitalis ini tidak membatasi pelaku penjamin ketersedian pangan oleh negara. Hal itu memungkinkan pihak-pihak lain di luar Negara (swasta DN dan LN) bisa mengambil andil yang sangat besar.  Akibatnya terjadilah monopoli bahan pangan, menumpuknya kendali supply pangan pada sekelompok orang, serta impor yang menyebabkan ketergantungan kepada Negara lain ( lihat RUU tentang Pangan). Contoh, saat ini impor kedelai yang 90% berasal dari AS dikuasai oleh empat perusahaan saja termasuk Cargill yang induknya di AS, impor gula dikuasai oleh 7-8 perusahaan saja, impor gandum yang tahun ini bisa mencapai 7,1 juta ton senilai USD 3,5 miliar atau setara Rp 32,8 triliun (liiputan6, 17/6) dikuasai tidak lebih oleh 4 perusahaan saja, yang terbesar Bogasari dari Grup Salim. Hanya beras yang impornya dikendalikan oleh negara, tapi pelaksanaan impornya yang ditenderkan kepada importir swasta dan dijadikan bancakan oleh para pejabat dan politisi.
Pada saat ini perusahaan–perusahaan yang memiliki modal besar mampu menguasai pangan dari hulu hingga hilir (contoh, mulai dari impor gandum, industri tepung terigu sampai makanan olahan berbahan tepung terigu dikuasai oleh perusahaan dari satu grup, terutama grup Salim Bogasari – Indofood cs). Akibatnya mereka bisa mengendalikan penentuan harga di pasar, dan menyebabkan hilangnya peluang usaha bagi masyarakat yang memiliki modal terbatas.
Akses dan Penyerapan Pangan
Begitu pula akses pangan bukanlah berarti jaminan bagi setiap induvidu bisa mendapatkan kebutuhan pangannya. Melainkan bagaimana masyrakat mampu memenuhi kebutuhannya dengan memproduksi sendiri, membeli, ataupun mendapat bantuan agar bisa membeli.  Jadi distribusi yang menentukan akses pangan itu tetap berdasarkan mekanisme harga sebagaimana doktrin ekonomi kapitalis. Pada faktanya sangat sering kita temukan stok pangan melimpah tapi banyak orang tidak bisa mengaksesnya, dikarenakan mereka tidak punya uang untuk membeli, apalagi ketika stok pangan kurang sehingga harga pangan melambung.  Ketika kondisi stok pangan tidak mencukupi, mereka tidak memiliki modal untuk memproduksi sendiri atau mereka tidak punya kesempatan untuk ikut dalam proses produksi, kalaupun mereka bisa memproduksi mereka tidak memiliki akses untuk memasarkan produksinya atau kalah saing dengan produsen yang lebih besar. Sehingga pada sistem ini tidak ada jaminan bagi setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok pangannya.
KETAHANAN PANGAN DALAM SISTEM ISLAM
Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik Islam. Politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat) setiap orang individu per individu secara menyeluruh, berikut jaminan kemungkinan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu.
Terpenuhinya kebutuhan pokok akan pangan bagi tiap individu ini akan menentukan ketahanan pangan Daulah.  Selain itu, ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan yang dibutuhkan oleh rakyat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia.  Hal itu berpengaruh pada kemampuan, kekuatan dan stabilitas negara itu sendiri.  Juga mempengaruhi tingkat kemajuan, daya saing dan kemampuan negara untuk memimpin dunia. Lebih dari itu, negara harus memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dan pangan utama dari daam negeri.  Sebab jika pangan pokok dan pangan utama berkaitan dengan hidup rakyat banyak tergantung pada negara lain melalui impor hal itu bisa membuat nasib negar tergadai pada negara lain.  Ketergantungan pada impor bisa membuka jalan pengaruh asing terhadap politik, kestabilan dan sikap negara.  Ketergantungan pada impr juga berpengaruh pada stabilitas ekonomi dan moneter, bahkan bisa menjadi pemicu krisis.  Akibatnya stabilitas dan ketahanan negara bahkan eksistens negara sebagai negara yang independen, secara keseluruhan bisa menjadi taruhan.
Karena itu ketahanan pangan dalam Islam mencakup: (1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian Pangan Negara.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Pangan
Negara  dalam pandangan Islam memiliki tugas untuk melakukan kepengurusan terhadap seluruh urusan rakyatnya, baik dalam ataupun luar negri ( ri’âyah su`ûn al-ummah). Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan (selain kebutuhan pokok sandang dan papan serta kebutuhan dasar pendidikan,kesehatan dan keamanan) seluruh rakyat individu per individu.  Dalil bahwa itu merupakan kebutuhan pokok diantaranya bahwa imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:
«كُلُّ شَيْءٍ سِوَى ظِلِّ بَيْتٍ، وَجِلْفِ الْخُبْزِ، وَثَوْبٍ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَالْمَاءِ، فَمَا فَضَلَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ لابْنِ آدَمَ فِيهِ حَقٌّ»
Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya

Hadits tersebut juga dinyatakan dengan lafazh lain:
«لَيْسَ لابْنِ آدَمَ حَقٌّ فِي سِوَى هَذِهِ الْخِصَالِ: بَيْتٌ يَسْكُنُهُ، وَثَوْبٌ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَجِلْفُ الْخُبْزِ وَالْمَاءِ»
Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air (HR at-Tirmidzi dan ia berkata hasan shahih)

Ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan di dalam lafazh hadits itu yaitu pangan, papan dan sandang: «zhillu baytin –naungan rumah», «bayt yaskunuhu –rumah yang ia diami-», «tsawbun yuwârî ‘awratahu –pakaian yang menutupi auratnya-», «jilfu al-hubzi wa al-mâ’ –roti tawar dan air-» itu sudah cukup dan di dalamnya ada kecukupan.  Sabda Rasul di dalam hadits tersebut «apa yang lebih dari ini maka anak Adam tidak memiliki hak di dalamnya» di sini sangat gamblang bahwa tiga kebutuhan inilah yang merupakan kebutuhan pokok.  Kedua hadits ini menyatakan tentang kebutuhan-kebutuhan pokok yaitu pangan, papan dan sandang.  Yang lebih dari itu maka bukan kebutuhan pokok, dan pemenuhannya terjadi dimana kebutuhan-kebutuhan pokok individu itu telah terpenuhi.
Dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok itu termasuk kebutuhan pokok pangan negara akan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi seperti yang diatur oleh hukum syara’.

Mekanisme Non Ekonomi
Negara memastikan agar hukum-hukum syariat terkait dengan nafkan berjalan sebagaimana mestinya. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada dibawah tanggungannnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika kemudian pemenuhan kebutuhan pokok dia dan keuarganya belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka kerabatnya mulai yang terdekat diwajibkan untuk turut menanggungnya (QS. al-Baqarah [2]: 233).  Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara).  Rasul saw bersabda:
« اَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضِيَاعًا، فَإِلَيَّ، وَعَلَيَّ  »
“Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Disamping itu, ketika kebutuhan pokok termasuk kebutuhan pokok pangan tidak terpenuhi maka orang tersebut berhak atas harta zakat.  Karena itu orang tersebut berhak meminta harta zakat ke Baitul Mal dan amil zakat.
Mekanisme ekonomi
Mekanisme ekonomi yang dimaksud di sini adalah keterlibatan individu dalam aktivitas ekonomi untuk mendapatkan harta sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya.  Mekanisme ini saling melengkapi dengan mekanisme non ekonomi di atas.  Secara lebih tepatnya adalah pemberian peluang bagi setiap orang khususnya laki-laki untuk bekerja.  Sebab Islam mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan dan kesempatan kerja.
Untuk menyediakan lapangan dan kesempatan kerja bagi rakyat, Negara bisa menempuhnya dengan cara langsung dan tidak langsung.  Cara langsung artinya negara secara langsung membuka lapangan kerja dengan membuka proyek-proyek pembangunan khususnya proyek padat karya.  Kesempatan kerja justru lebih banyak bisa diberikan oleh negara secara tidak langsung.  Jadi bukan negara yang secara langsung membuka lapangan kerja, tapi masyarakatlah yang membuka lapangan kerja melalui kegiatan usaha yang mereka lakukan.  Agar kesempatan kerja bisa terbuka seluas-luasnya melalui cara ini, negara harus mewujdukan dan menjamin adanya iklim usaha yang kondusif bagi masyarakat.

Untuk itu setidaknya negara harus menjamin terealisasinya hal-hal berikut:
Negara harus menjamin terlaksananya hukum-hukum syara terkait dengan ekonomi, seperti hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan  dan pengembangan kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat.
Menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang sesuai syari’at. Negara akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi yang menghambat, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, penipuan.  Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Negara harus mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional. Dalam hal ini, untuk membuka usaha misalnya, tidak perlu izin. Meski dalam hal pembukaan usaha tetap ada aturan-aturan teknis dan administratif sesuai hukum syara’ dalam rangka agar tidak terjadi pelanggaran hak individu dan umum oleh para pelaku usaha, seperti aturan tentang RTRW, izin lingkungan, dsb. Negara juga akan menghilangkan berbagai pungutan, retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap.  Dalam konteks perdagangan luar negeri negara tidak akan memungut bea import ataupun ekspor dari para pedagang warga negara.
Negara memberikan bantuan teknis, teknologi dan litbang, informasi, dan modal kepada rakyat yang mampu berusaha/bekerja.
Negara menghilangkan sektor non riil, sehingga harta hanya akan berputar di sektor riil (produksi dan distribusi barnag dan jasa).  Denga begitu semua kegiatan ekonomi akan berefek langsung pada kemajuan perekonomian secara riil.

Ketersediaan dan Keterjangkauan Pangan
Ketersediaan pangan yang dimaksudkan adalah tersedianya stok pangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.  Sementara keterjangkauan pangan adalah tersedianya pangan secara merata di semua wilayah dengan tingkat harga yang wajar.  Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan produksi pangan. Sedangkan keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan distribusi dan keseimbangan supply dan demand.
Untuk menjamin ketersediaan pangan maka negara harus menjamin produksi pangan pada tingkat yang mencukupi kebutuhan masyarakat.  Dan jika produksi dalam negeri tidak cukup maka bisa dipenuhi dari impor dengan tetap memperhatikan kemaslahatan dalam negeri dan negara.  Untuk menjamin produksi pangan setidaknya negara harus melakukan hal-ha berikut:
Negara harus menjamin pelaksanaan politik pertanian dan politik pertanahan syariah.  Hal itu akan menjamin ketersedian lahan dan produktivitas lahan.  Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, maka tanah mati itu bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu.  Rasul bersabda:
« مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ »
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)

Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang.  Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Abu Yusuf meriwayatkan di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab :
« … لَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ »
… Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah mati setelah tiga tahun

Humaid bin Zanjawaih an-Nasa’iy dalam kitab al-Amwâl meriwayatkan dari jalan Amr bin Syu’aib bahwa Nabi saw memberikan tanah kepada orang-orang dari Juhainah lalu mereka membiarkannya dan menelantarkannya, lalu datang kaum yang lain dan menghidupkannya.  Kemudian orang-orang Juhainah itu mengadukannya kepada Umar bin Khathab, lalu Umar berkata : seandainya itu dari pemberianku atau dari Abu Bakar maka aku tidak akan ragu, tetapi itu adalah pemberian Rasulullah saw (artinya sudah ditelantarkan lebih dari tiga tahun). Dan Umar berkata :
« مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَعَطَلَهَا ثَلاَثَ سِنِيْنَ لاَ يَعْمُرُهَا فَعَمَرَهَا غَيْرُهُ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا »
Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu
Ibn Hajar al-Ashqalani berkomentar bahwa riwayat ini mursal dan para perawinya tsiqah (Ibn Hajr, ad-Dirâyah fi Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, II/243, Dar al-Ma’rifah, Beirut).
Dengan ketentuan itu maka tanah akan terdistribusi kepada rakyat. Dan lebih dari itu akan terjamin bahwa tanah yang ada akan produktif dan meminimalkan bahkan menghilangkan adanya tanah terlantar.  Sebagai gambaran, saat ini di Indonesia terdapat 7,5 juta ha tanah terlantar dimana 2,1 juta ha diantaranya layak untuk pertanian.

Dengan hukum-hukum ini maka akan tersedia lahan yang cukup untuk pertanian, dan semua laha yang ada akan produktif.  Jika lahan yang ada dirasakan masih kurang, maka negara bisa melakukan ekstensifikasi dengan membuka lahan baru.  Hal itu seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin al-Khaththab ra dan dilanjutkan pada masa umayyah.  Pada waktu itu daerah delta sungai Eufrat dan Tigris dan daerah rawa-rawa di Irak dikeringkan dengan jalan dibangun saluran-saluran air /irigasi kemudian lahan itu direkayasa menjadi lahan pertanian dan selanjutnya dibagikan kepada akyat yang mampu menanaminya.
Disamping itu, negara juga menggunakan pendekatan intensifikasi pertanian.  Intensifikasi  pertanian itu dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas tanah.  Intensifikasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi, penggunaan pupuk, obat-obatan, teknologi, teknik produksi, pola tanam,  penggunaan benih unggul, penggunaan alat dan mesin pertanian, termasuk pemanfaatan teknologi kultur jaringan dan rekayasa tanaman dan rekayasa genetika, dan sebagainya.  Untuk itu, negara haus membangun pusat-pusat kajian dan litbang pertanian secara luas.  Hasil-hasil litbang itu harus bisa diakses secara terbuka dan luas oleh masyarakat.  Tidak adanya hak patent sangat besar pengaruhnya dalam hal ini.  Hasillitbang itu misalnya benih unggul, bisa langsung dibudidayakan dan dikembangkan oleh siapa saja dan disebarkan.  Tidak seperti sekarang, banyak hasil litbang yang tidak serta merta bisa dimanfaatkan oleh para petani.  Sebab ada peraturan dimana yang bisa memasarkan benih hanyalah perusahaan yang berizin dan bersertifikasi.  Akibatnya, budidaya dan pemasaran benih hanya dikuasai oleh para pemodal, sementara para petani tidak bisa mengaksesnya degan mduah. Bahkan tiga orang petani di Kediri harus dipenjara karena menjual benih jagung hasil budidayanya dengan alasan ketiganya tidak punya izin budidaya dan pemasaran benih.  Hal demikian tidak boleh terjadi di dalam daulah.  Penggunaan alat dan mesin pertanian hanya bisa efektif jika didukung oleh politik industri yang tepat.  Dalam hal ini, daulah akan mengedepankan industri berat dan industri mesin dan peralatan sebagai strategi industrialisasi dan strategi menciptakan kemandirian dan kemajuan teknologi.  Produksi pertanian yang baik apalagi intensifikasi tidak bisa jalan tanpa didukung oleh infrastruktur pertanian yang memadai.  Karena itu sebagai bagian dari ri’ayah asy-syu’un, negara melalui direktorat terkait harus membangun infratsruktur pertanian seperti waduk, bendungan, jaringan irigasi, balai-balai pertanian, jalan, dsb.  Disamping itu negaa juga harus memiliki tenaga penyuluh dan pembimbing pertanian yang mencukupi dan memiliki kemampuan yang memadai untuk memberikan penyuluhan, pembimbingan dan memandu para petani melakukan produksi dengan teknik, cara yang paling efisien dan paling produktif.  Diluar semua itu, negara pun bisa memberikan bantuan subsidi langsung maupun tidak langsung, bantuan fasilitas, informasi dan bantuan lainnya yang dibutuhkan, seperti yang dahulu pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz dan para khalifah lainnya.  Dengan semua itu maka ketersediaan pangan bisa diwujdukan.

Keterjangkauan Pangan
Keterjangkauan pangan yang dimaksudkan adalah terdistribusinya pangan di seluruh wilayah dan dengan tingkat harga yang wajar.  Untuk itu pembangunan infrastruktur jalan dan transportasi menjadi suatu keniscayaan.  Begitu pula penyebaran informasi pasar dan informasi produksi juga harus dikelola dengan baik oleh negara dan dibuka aksesnya untuk semua.  Pendistribusian hasil pertanian ke seluruh wilayah tentu membutuhkan waktu, sementara sifat produk pertanian kebanyakan adalah perishable (mudah rusak).  Karena itu untuk menjamin keterjangkauan pangan ini, negara juga harus mengembangkan teknologi pasca panen dan menyebarkannya ke para petanidan pelaku usaha pertanian.  Litbang untuk itu bisa dikerjakan di pusat-pusat litbang yang didirikan oleh daulah.  Teknologi pasca panen jelas menuntut penguasaan seain sains juga teknologi dan pengadaan teknologi itu.  Dalam hal ini politik industri yang mengedepankan industri berat, mesin dan peralatan akan sangat membantu.

Keterjangkauan pangan juga mencakup kekontinuan supply pangan.  Kekontinuan supply itu bisa diwujudkan dengan pengaturan stok dan pengendalian logistik.  Pengaturan logistik diantaranya dengan menerapkan pengaturan pola dan musim tanam yang dikombinasikan dengan pembagian atau pengaturan daerah produksi.  Hal itu bisa dilengkapi dengan pengembangan sentra-sentra produksi produk pertanian dengan memperhatikan kesesuaian antara jenis tanaman dengan karakteristik tanah dan iklim tiap daerah.  Sementara pengaturan stok dan supply bisa dilakukan dengan mendistribusikan produk dari daerah-daerah sentra produksi atau yang surplus ke daerah-daerah lain yang kurang.  Untuk itu negara harus memiliki badan yang mengelola informasi pasar dan informasi pertanian termasuk produksi.  Sekarang pengelolaan informasi semua itu bisa dilakukan secara real time.  Adanya badan seperti itu seperti yang cikal bakalnya dicontohkan oleh Rasul saw.  beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib yang mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Bisa juga negara membeli hasil pangan dan menyimpannya di gudang-gudang negara untuk didistribusikan ketika supply mengalami kekurangan.  Dengan kebijakan itu maka harga pangan bisa dijaga pada tingkat yang wajar.  Untuk itu perlu ada badan negara yang berfungsi sebagai penyangga harga dan keseimbangan supply dan deman, khususnya untuk produk-produk pangan pokok dan pangan utama.  Badan itu bisa saja seperti Bulog.
Kebijakan pengendalian harga dengan mengendalikan supply dan demand menggunakan menakisme pasar seperti itulah yang harus dilakukan.  Sebab Islam melarang kebijakan pematokan harga.  Anas ra. menceritakan:
غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ e فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا.فَقَالَ «إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ »
Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat) berkata: “ya Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau bersabda: “sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad)

Praktek pengendalian supply seperti itu pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada  waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash  tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengiripkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih dihadapan saya (Mesir)  dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Disamping semua itu, negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal.  Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw:
« مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani)

Dalam hadits ini terdapat ‘illat yaitu untuk memahalkan harga atas masyarakat.  Maka apa saja yang disitu ada unsur untuk memahalkan harga maka tercakup dalam ancaman hadits ini.
Kadang kala, para produsen, penjual, pedagang, pembeli, profesi atau penyedia jasa tertentu, dsb, mereka berkumpul atau berasosiasi untuk menyepakati batas harga/sewa/upah tertentu; menghalangi harga yang lebih rendah atau lebih tinggi dari batas yang mereka sepakati; atau untuk mengatur harga secara tak langsung dengan membagi kuota diantara mereka. Hal itu berpotensi besar memahalkan harga bagi masyarakat, dan itu jelas tercakup dalam ancaman hadits ini.  Maka dalam konteks seperti ini, perkumpulan atau asosiasi itu berpotensi besar menjadi wasilah kepada yang haram, sehingga hukumnya haram.  Negara harus melarang perkumpulan atau asosiasi seperti itu.

Kemandirian Pangan Negara
Terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu Negara dan adanya jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap individu dan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai secara otomatis akan mampu menciptakan ketahanan pangan suatu Negara. Begitupun sebaliknya. Karena itu jaminan tersedianya pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu Negara harus mendapat perhatian penting dari Negara.  Ketersediaan pangan bisa dilakukan dengan  meningkatkan produksi pangan dalam negri ataupun dengan impor bahan pangan dari luar negri.  Kebijakan impor pangan dari luar negeri diambil oleh Negara tentu setelah Negara mengambil kebijakan dan strategi peningkatan produksi pangan nasional sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Kebijakan impor pangan yang diambil oleh Negara tentulah harus memperhatikan bebera hal yang terkait dengan kekuatan politik Negara. Contoh kondisi negeri ini yang sangat tergatung pada impor bisa mempengaruhi stabilitas dalam negeri.  Seperti kedelai, dari kebutuhan sebesar 3 juta ton, produksi dalam negri banya 800.000 ton saja. Artinya 2,2 juta ton harus diimpor dan 90%-nya dari Amerika. Hal sama juga terjadi atas gandum yang 100 % impor, jagung, gula, bahkan garam.  Ketika produksi pangan negara asal impor mengalami gangguan, atau terjadi spekulasi harga di tingkat internasional sehingga harga melambung seperti yang terjadi beberapatahun lalu, maka stabilitas dalam negeri ini akan terganggu.
Kareba itu impor pangan haruslah tidak terus menerus, dan tidak boleh dijadikan sandaran penyediaan pangan dalam negeri sebab hal itu akan menyebabkan ketergantungan kepada negara lain.  Jika itu terjadi, hal itu membuka jalan bagi negara lain itu untuk mengintervensi bahkan mengontrol Negara baik secara langsung maupun tidak langsung.  Yang demikian adalah haram sebab kita haram menyediakan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.  Allah SWT berfirman:
] وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً [
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa’ [4]: 141).

Karenanya negara harus benar-benar memperhatikan kebijakan impor bahan pangan. Ataupun kebijakan ekspor jika kebutuhan pangan itu belum memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dalam hal ini, daulah harus mengupayakan semaksimal mungkin terwujudnya kemandirian pangan dengan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri.  Dengan strategi yang dipaparkan di atas maka kemandirian pangan itu bisa diwujudkan, insya’a Allah.

Semua kebijakan dan straetegi itu hanya akan bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh kepemimpinan yang baik adlam sistem kenegaraan yang bisa terjamin adanya keterpaduan antar sektor, bukan malah terjadi ego antar sektor ditengah kepemimpinan yang lemah seperti saat ini.  Hal itu hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah ‘ala minhan an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

[Hizbut Tahrir Indonesia]

Pembiayaan Pendidikan Dalam Negara Khilafah

Pembiayaan Pendidikan Dalam Negara Khilafah.

Pendidikan Sebagai Kebutuhan Dasar
Eksistensi dan kelestarian umat Islam sebagai sebuah entitas yang memiliki keyakinan dan sistem hidup khas ditentukan oleh sejauh mana penjagaan mereka terhadap tsaqafah islamiyyah.   Penjagaan umat terhadap tsaqafah islamiyyah bergantung sepenuhnya pada perhatian mereka terhadap pendidikan umat.  Sebab, pendidikan adalah thariqah untuk menjaga tsaqafah islamiyyah agar tetap lestari di dalam dada kaum Muslim dan lembaran-lembaran karya ilmiah.   Ketika perhatian negara dan umat terhadap pendidikan tsaqafah islamiyyah mulai melemah,  pelan namun  pasti umat semakin jauh dari Islam.   Akibatnya, umat mengalami kemunduran hampir di seluruh bidang kehidupan.   Keadaan itu semakin diperparah dengan keberhasilan Barat memasukkan tsaqafah-tsaqafah asing, seperti nasionalisme dan demokrasi,  ke tengah-tengah kaum Muslim.  Umat Islam pun semakin terperosok dalam jurang keawaman terhadap tsaqafah islamiyyah. Akhirnya, mereka tidak mampu lagi mempertahankan eksistensi hadharah islamiyyah dan Daulah Islam sebagai akibat lemahnya pemahaman mereka terhadap Islam.
Ketika Daulah Islam dan peradaban Islam berhasil diruntuhkan oleh Barat, banyak di antara mereka tidak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal  kehancuran Daulah Islam dan peradaban Islam adalah musibah terbesar dan awal bagi penderitaan mereka. Realitas ini menunjukkan bahwa pendidikan tsaqafah islamiyyah merupakan perkara urgen (dlaruri) yang tidak boleh diabaikan oleh kaum Muslim.  Negara Khilafah—yang  tidak lama lagi akan berdiri dengan izin Allah SWT—wajib memperhatikan masalah ini dengan perhatian yang tinggi dan sempurna.
Selain itu, nash-nash syariah juga telah menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus  dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat, seperti halnya keamanan dan kesehatan.  Di antara nash-nash syariah yang menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah adalah sabda Nabi saw.:
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأَ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ بِماَ بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Permisalan hidayah dan ilmu yang Allah SWT sampaikan kepada diriku bagaikan air hujan yang menimpa sebidang tanah. Di antara tanah itu ada tanah baik yang mampu menyerap air dan menumbuhkan rerumputan serta  pepohonan yang sangat banyak. Di antara tanah itu ada pula tanah liat yang mampu menahan air sehingga Allah SWT memberikan manfaat kepada manusia dengan tanah tersebut; manusia bisa meminum air darinya, mengairi kebun-kebunnya dan memberi minum hewan-hewan ternaknya.  Air hujan itu juga menimpa tanah jenis lain, yaitu tanah datar lagi keras yang tidak bisa menahan air dan menumbuhkan rerumputan.  Demikian-lah, ini adalah perumpamaan orang yang faqih terhadap agama Allah, dan orang yang bisa mengambil manfaat dari apa-apa yang telah Allah sampaikan kepada diriku sehingga ia bisa belajar dan mengajarkan (ilmu tersebut kepada orang lain). Ini juga perumpamaan orang yang menolak hidayah dan ilmu dan tidak mau menerima hidayah Allah SWT yang dengan itulah aku diutus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadis ini dituturkan bahwa penerimaan dan penolakan manusia terhadap hidayah dan ilmu diidentikkan dengan sebidang tanah dan air hujan.  Air hujan  termasuk hajah asasiyyah bagi manusia, yang kalau tidak dipenuhi akan menyebabkan kebinasaan bagi manusia. Pengidentikan ilmu dan hidayah dengan air hujan menunjukkan, bahwa ilmu dan hidayah merupakan hajah asasiyyah sebagaimana air hujan.  Riwayat di atas juga diperkuat hadis-hadis lain, seperti hadis-hadis berikut ini:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ
Sesungguhnya di antara tanda-tanda datangnya Hari Kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tersebarnya kebodohan (HR al-Bukhari dan Muslim).
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ
Di antara tanda-tanda datangnya Hari Kiamat adalah berkurangnya ilmu dan tampaknya kebodohan (HR al-Bukhari dan Muslim).
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa lenyap dan berkurangnya ilmu merupakan madarat (ancaman/bahaya) bagi kehidupan manusia.  Madarat ini hanya bisa dihilangkan dengan cara menyelenggarakan pendidikan berkesinambungan di tengah-tengah masyarakat.  Sebab, ilmu dan hidayah hanya bisa dipelihara dan dijaga ketika keduanya dipelajari dan diajarkan secara terus-menerus di tengah-tengah masyarakat.  Dengan demikian, hadis-hadis ini semakin meneguhkan bahwasanya pendidikan merupakan hajah asasiyyah yang harus dijamin ketersediannya di tengah-tengah masyarakat oleh Negara Khilafah.
Pembiayaan Pendidikan di Negara Khilafah
Di dalam Kitab al-Iqtishadiyyah al-Mutsla disebutkan bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara.   Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (HR al-Bukhari).
Atas dasar itu, Khilafah harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah.  Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa  diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Negara Khilafah juga wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya.  Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.   Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan ujrah (gaji) kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara Khilafah di seluruh strata pendidikan.   Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar setiap bulan.  Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.
Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah.    Seluruh pemasukan Negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apapun dari rakyat.
Jika harta di Baitul Mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka Negara Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim.  Jika sumbangan kaum Muslim juga tidak mencukupi, maka kewajiban pembiayaan untuk pos-pendidikan beralih kepada seluruh kaum Muslim.  Sebab, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran wajib—seperti  pendidikan, kesehatan, dan keamanan—ketika Baitul Mal tidak sanggup mencukupinya.   Selain itu, jika pos-pos tersebut tidak dibiayai, kaum Muslim akan ditimpa kemadaratan.   Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak (dharibah) dari kaum Muslim.  Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara selektif.  Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak.  Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain pajak.  Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup dibebaskan dari membayar pajak.  Berbeda dengan negara kapitalis, pajak dikenakan dan dipungut secara tidak selektif. Bahkan orang-orang miskin pun harus membayar berbagai macam pajak atas pembelian suatu produk atau pemanfaatan jasa-jasa tertentu.
Selain itu, dharibah (pajak) dalam pandangan syariah Islam adalah pemasukan yang bersifat pelengkap, bukan sebagai pemasukan utama dalam APBN Khilafah.  Negara hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat, yaitu ketika harta di Baitul Mal tidak mencukupi.  Sebaliknya, dalam negara kapitalis, pajak dijadikan sebagai sumber penerimaan utama negara.  Di negara-negara sekular-kapitalis, seperti Indonesia, pemasukan di sektor pajak mencapai kisaran 70-90% dari total pendapatan negara.  Akibatnya, beban pembiayaan masyarakat dan industri semakin meningkat akibat banyaknya pungutan yang harus mereka tanggung
Walaupun negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh warganya, bukan berarti individu dilarang menyelenggarakan pendidikan secara mandiri.  Setiap warga negara Khilafah diperbolehkan mendirikan sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan serta menarik kompensasi atas jasa yang telah mereka berikan. Mereka juga diperbolehkan menyusun kurikulum dan mata pelajaran sendiri.  Hanya saja, kurikulum dan mata pelajaran tersebut tidak boleh menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Negara Khilafah mengawasi kurikulum dan mata pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut serta akan menindak dengan tegas siapapun yang mengajarkan pelajaran-pelajaran yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]
WalLahu al-Musta’an wa Huwa Waliyyu at-Tawfiq.